Thursday, April 12, 2018

Macau - HK Trip Day 3: Jatuh Cinta Pada Pulau Lantau



Kalau kemarin kami menggunakan MTR dengan jarak yang dekat, di hari ketiga kami berkesempatan mencoba salah satu rute yang lumayan panjang yakni menuju Stasiun Tung Chung. Dari Stasiun Mong Kok, kami harus melewati 8 stasiun pemberhentian serta sekali pindah jalur agar bisa sampai di stasiun yang masuk ke dalam wilayah Pulau Lantau, Daerah Teritori Baru (New Territories) ini. Perjalanan itu memakan waktu hampir satu jam lamanya dimana kami benar-benar merasakan perbedaan suasana di dalam kereta - dari yang semula penuh sesak, menjadi hanya tinggal beberapa gelintir orang.

Gugusan awan mendung telah terbentuk di atas langit Pulau Lantau saat kami keluar dari bangunan Stasiun Tung Chung dan berjalan menuju Terminal Gondola Ngong Ping 360. Awan mendung ini membawa angin dingin yang membuat siapa saja ingin berjalan cepat agar terhindar dari kedinginan.

Pagi itu, kami datang sedikit kepagian. Jam masih menunjukkan pukul sembilan pagi, sementara Terminal Gondola baru beroperasi jam 10-an. Kami pun berdiri mengantre di luar bersama beberapa pengunjung lain, menunggu loket penukaran tiket mulai dibuka. Tiket gondola-nya sendiri telah kami beli di Indonesia, melalui aplikasi Traveloka. Kebetulan kemarin pas ada penawaran diskon 15 persen untuk atraksi wisata. Lumayan.

Ada untungnya juga berangkat pagi, selain suasana masih sepi, kami bisa langsung menaiki gondola tanpa harus menunggu lama. Entah disengaja atau tidak, satu gondola yang biasanya muat diisi oleh 10 orang ini kemarin hanya diisi oleh enam orang dan semuanya adalah orang Indonesia! Kami sempat berkenalan dengan seorang wanita asal Semarang yang pergi traveling berdua bersama ibunya. Mereka ramah sekali, berbeda dengan dua orang wanita lain yang sekilas lihat dari gaya berpakaian mereka, not really worth to have a conversation with them. Yah, taulah maksud saya yang tipe bagaimana~

Gondola ini membawa kami semua menuju Ngong Ping Village, dengan waktu tempuh selama sekitar setengah jam. Perjalanan berangkatnya sih aman sentosa, tapi perjalanan pulang membuat saya membaca doa di dalam hati terus menerus. Angin kencang menerpa gondola kami dan sukses menggoncangkan gondola ke kanan maupun ke kiri dengan begitu seringnya.

Gondola dan pemandangan di sekitarnya.

Banyak pemandangan menarik yang bisa kita nikmati dari atas gondola, mulai dari Teluk Tung Chung, Taman Nasional Lantau Utara, Laut China Selatan, hingga Bandara Internasional Hong Kong - membuat perjalanan sejauh 5,7 kilometer ini jadi sedikit tidak terasa menakutkan.

Ngong Ping Village: Rumah dari The Big Budha dan Po Lin Monastery

Hujan gerimis tipis mulai turun membasahi bumi ketika kami sampai di Ngong Ping Village. Meskipun demikian, hal tersebut tidak menghalangi niat kami dan pengunjung lainnya untuk menikmati hal-hal yang ditawarkan oleh tempat itu. Untung saja, hujan gerimis ini hanya sekedar mampir. Tak lama berselang, cuaca berubah baik kembali.

Saya dan Mbak Ayu melanjutkan melihat-lihat. Suasana natal kembali terasa disana dengan berdirinya pohon natal berwarna perak, lengkap dengan replika kereta santa di salah satu sudut muka Ngong Ping Village. Sejumlah kafe, rumah teh dan toko cinderamata menjejali sisi kanan-kiri area tersebut dan sanggup menyihir para pengunjung untuk mampir atau sekedar melihat-lihat sebelum dan sesudah menyambangi The Big Budha.

Saya dan Mbak Ayu berfoto di depan Tea House. Ada tur yang
disediakan oleh rumah teh tersebut, tapi kami skip karena
keterbatasan waktu dan dana. Ahahah.

Christmas Vibes in Ngong Ping.

Sebuah gerbang marmer setinggi sekitar tujuh meter menyapa di depan kami. Gerbang ini sekaligus menjadi penanda bahwa kami telah memasuki area utama dari Ngong Ping Village yaitu area The Big Budha dan Po Lin Monastery. Disini, gerimis kembali datang. Mbak Ayu segera membuka payung yang sudah ia bawa, sementara saya menutupi kepala dengan hoodie yang menjadi satu dengan jaket.

Saya terkejut ketika melihat sapi baik berwarna cokelat atau hitam, tampak berkeliaran di sekitar sana. Sapi-sapi itu terlihat jinak dan sukses menjadi obyek foto bagi para wisatawan yang datang. Kawanan sapi ini dijaga oleh segerombolan anjing penjaga yang sangat terlatih. Ketika ada sapi yang mendekati area berjualan, gerombolan anjing langsung kompak menyalak dan bergerak menjauhkan sapi tersebut dari area tersebut.

"Kok jadi keinget sama Nara Park ya? Tapi ini versi sapi, bukan rusa", kata Mbak Ayu kepada saya. Sebelum menemani saya ke Hong Kong dan Macau, teman saya itu memang sempat berwisata ke Jepang. Saya hanya bisa tertawa mendengarnya. Dalam hati saya berdoa, semoga suatu saat diberikan kesempatan pula untuk mengunjungi Nara Park di negeri matahari terbit.


Sapinya jinak-jinak. Moo!

"Satya, aku tunggu di bawah aja ya. Kamu kalau mau naik, naik aja. Aku mau duduk disana saja", tukas Mbak Ayu sambil menunjuk ke suatu arah. Yap. Siapapun yang hendak melihat The Big Budha dari dekat, memang terlebih dahulu harus melewati ujian berupa 268 anak tangga. Saya mengangguk dan bergegas menapaki anak-anak tangga itu satu per satu.

Capek. Serius. Ada mungkin sekitar dua sampai tiga kali saya berhenti sebelum berhasil sampai di atas. Untung tidak cuma saya yang tampak kewalahan. Beberapa pengunjung lain juga berjalan naik dengan ekstra pelan sembari sesekali beristirahat. Anak-anak tangga itu juga jadi sedikit licin akibat air hujan yang membasahinya. Anehnya, setiap kali beristirahat dan mendongakkan kepala ke arah Sang Budha, badan ini serasa ditarik untuk meneruskan perjalanan kembali. Iya, semacam Sang Budha memberikan energi tambahan kepada saya.

Saya senang saat akhirnya berada tepat di bawah Patung Budha itu. Namun, entah kenapa saya juga merasa kecil dan tak berdaya saat berada di dekat patung dari Budha Sakkyamuni yang memiliki tinggi 34 meter ini. Meskipun Tiongkok merupakan negara komunis, tapi The Big Budha adalah salah satu tempat ziarah utama bagi para penganut Budhism di seluruh dunia. Kemarin, saya sempat melihat beberapa peziarah yang tampak khusyuk berdoa sambil menitikkan air mata ketika berada di bawah Sang Budha.

Tiga wanita tengah berdoa di depan The Big Budha.


Setelah menemukan Mbak Ayu yang duduk di pojokan pintu masuk The Big Budha, kami melanjutkan petualangan dengan berjalan menuju Po Lin Monastery. Jaraknya tak begitu jauh dari pintu masuk The Big Budha, paling hanya lima menit berjalan kaki. Bau dupa langsung menyambut kami begitu mendekati kuil megah itu.

Foto Po Lin Monastery yang diambil
dari area The Big Budha.


Banyak sekali pengunjung yang berdoa di Po Lin.

Po Lin Monastery dibangun pada tahun 1903 oleh tiga biarawan yang berasal dari Provinsi Jiangsu di Tiongkok Daratan. Konon, di dalam kuil utamanya terdapat tiga patung perunggu dari Budha yang menggambarkan kehidupan masa lalu, masa kini dan masa depannya.

Potret biarawati yang tengah bertransaksi sayuran.

Po Lin Monastery juga menjadi rumah bagi ratusan biarawan dan biarawati yang memutuskan untuk melepaskan segala kemewahan duniawi selama berada disana. Salah satunya tampak dari cara makan mereka yang benar-benar tidak mengkonsumsi bahan makanan hewani. Bagi yang penasaran dengan cara makan ala biarawan, Po Lin Monastery menyediakan menu vegetarian di restoran yang dimilikinya. Kami sih memilih pass sebab kami harus bergegas menuju destinasi yang selanjutnya.

Tai O: Menyambangi Desa Nelayan Terakhir di Hong Kong

Dari Po Lin Monastery, kami memutuskan berjalan keluar dan menuju ke Terminal Bus Ngong Ping. Disana, kami berniat mencari bus yang akan mengantar kami menuju Tai O. Sayang, setibanya di terminal itu ternyata kami baru saja melewatkan bus yang ke arah sana, sedangkan jadwal keberangkatan selanjutnya masih sekitar satu setengah jam lagi. Saya melirik jam di gawai, "ah, no good", kami bisa kemalaman kalau mengikuti jadwal bis itu.

Mbak Ayu menunggu bus yang tak kunjung datang.

Tuhan maha baik. Ada cara lain untuk menuju ke Tai O walau lebih mahal, yakni menggunakan taksi. Tarifnya sekitar HKD 80 sekali jalan. Setelah sok pedekate, kami mendapatkan partner untuk berbagi taksi menuju ke Tai O yakni bersama pasangan pejalan (ibu dan anak) dari Korea Selatan. Ah, another good kid does exist.

Perjalanan dari terminal bus menuju Tai O memakan waktu kurang lebih selama setengah jam, melewati jalan yang membelah gunung dan sungguh terasa sepi. Saya jarang sekali melihat mobil atau kendaraan lain yang berpapasan dengan taksi kami selama perjalanan menuju kesana. Bahkan, manusia yang sekedar berjalan di trotoar saja tidak ada.

Sesampainya di Tai O, kami segera berpisah dengan pasangan ibu dan anak yang telah berbagi taksi dengan kami. Mereka berdua sepertinya hendak mengikuti tur melihat lumba-lumba merah muda - salah satu atraksi utama yang ditawarkan oleh Tai O. Sementara, kami lebih memilih untuk sightseeing sekaligus berburu kuliner disana.

Tai O sendiri memiliki sejarah yang sangat panjang. Di sekitar abad ke 16-17, Tai O menjadi salah satu benteng pertahanan dan tempat persembunyian bagi tentara Portugis maupun Inggris. Meski dihuni oleh orang dari berbagai suku bangsa, tapi Tai O kerap dijuluki sebagai rumah dari Kaum Tanka - salah satu suku nelayan yang berasal dari Tiongkok Selatan. Tai O mengalami masa kejayaan di tahun 1940-an dimana ia pernah menjadi pusat produksi garam dan perikanan terbesar di Hong Kong.

Kini, Tai O tak lagi secemerlang itu. Setiap tahunnya, cuaca berat seperti: taifun, hujan badai, dan tanah longsor kerap menerpa desa. Garam dan ikan juga sudah tak menjanjikan dan membuat beberapa tempat usaha disana tutup. Hal ini akhirnya membuat banyak anak muda yang memilih untuk merantau ketimbang menghabiskan waktu mereka di desa. Tai O pun berubah suram.

Tak mau tinggal diam, Pemerintah Hong Kong mencoba menghidupkan kembali desa nelayan terakhir yang mereka miliki. Jalur yang mereka tempuh adalah lewat pariwisata. Tai O ditawarkan sebagai area wisata yang memiliki kesan kontradiktif dengan apa yang dijual oleh Hong Kong selama ini. Yes, tepat sekali. Pertarungan antara kesederhanaan dengan kemewahan, pertarungan antara kedamaian dengan keramaian. Perlahan tapi pasti, nama Tai O kembali terangkat.

Saya dan Mbak Ayu pada awalnya memutuskan untuk menghabiskan hanya satu jam untuk berkeliling Tai O. Tapi kenyataannya, kami menambahkan ekstra waktu selama satu setengah jam lagi karena jatuh cinta dengan pesona desa itu, terutama makanannya.

Bayangkan saja, baru menjejakkan kaki memasuki pasarnya kami langsung berhenti karena tergoda oleh bola-bola pedas yang terbuat dari ikan sotong. Berkeliling sebentar, kembali kami berhenti untuk membeli egg-ball-waffle (a must try! enak!), lalu membeli kue kelapa, kue donat isi kacang merah, dan terakhir bakwan isi sayuran-ikan. Blegh~

Cuttle fish ball yang pedes nagih.

egg-ball-waffle lady. 

Kue kelapa dan donat.


Selain mencicipi makanan, ada beberapa spot menarik yang bisa dilihat di Tai O seperti drawbridge yang sudah berusia 85 tahun lebih, kuil-kuil kecil, pasar, dan lapangan desa. Namun, banyak orang yang berpendapat bahwa stilt house atau rumah bedeng adalah pemandangan paling menarik yang bisa dilihat dari Tai O. Rumah-rumah ini mayoritas berwarna serupa yakni abu-abu, dan berbahan utama seng.

Rumah-rumah bedeng di sekitaran muara.

Saya berlatar rumah bedeng. Meski judulnya rumah bedeng,
 tapi kebanyakan memiliki air-con.

lapangan Desa Tai O dan salah satu kuilnya.

Surprisingly, kami menemukan banyak tenaga kerja wanita asal Indonesia di Tai O. Kebanyakan bekerja sebagai pengasuh lansia. Sedihnya, kemarin yang kami lihat adalah sejumlah tenaga kerja wanita yang - maaf, kurang ajar- dengan para majikannya. Sembari menemani majikan mereka berjemur, para TKW ini lantas saling bergerombol, sibuk bergosip, atau menjelek-jelekkan majikan masing-masing. Saya sempat mencuri dengar ada seorang TKW yang menyumpahi dan mengata-ngatai majikannya dengan Bahasa Jawa Kasar.

Hati saya terasa kelu. Sungguh. Kok kaya ndak tahu rasa syukur begitu ya? Sudah bagus ada yang memberi pekerjaan, tapi balas budinya minus. Apalagi, kalian ini termasuk wakil dari penduduk Indonesia, loh. Mana yang katanya orang Indonesia ramah dan baik? Ah, mungkin mbak-mbak TKW itu lupa, setiap ucapan negatif kelak akan kembali ke dirinya sendiri, sekalipun kalian ucapkan dengan bahasa yang berbeda dengan si penerima.

Jauh-jauh deh ah. Daripada ikut ketularan negatif~


***

I fell in love with Lantau Island! Buat saya, Lantau adalah bagian favorit saya saat bertualang di Hong Kong. The Big Budha, Po Lin Monastery, dan Tai O - semuanya terbaik! Entah pada dasarnya saya bukan tipe orang yang suka dengan keramaian atau bagaimana, tapi ke-laid back-an yang begitu kental terasa selama penjelajahan kami di Lantau benar-benar membuat saya jatuh hati. Rasanya tak salah menjadikan Lantau sebagai destinasi hari terakhir kami di Hong Kong. Dan esok, kami bakal menyeberang kembali ke Macau. Ih, sedih.

Cost Day 3:
1. Tiket PP Ngong Ping Gondola (Standard Cabin): Rp 235.210,00
2. Taksi Po Lin Monastery Bus Terminus - Tai O Fishing Village: HKD 80 atau Rp 137.600,00 dibagi 4 = Rp 34.400,00
3. Jajan selama di Tai O: Kurang lebih HKD 40 atau Rp 68.800,00

Total Pengeluaran Hari Ketiga= Rp 338.410,00

NOTE:
1. Untuk menuju Tai O dari Ngong Ping selain menggunakan taksi juga bisa menggunakan Bus Nomor 21 dengan waktu tempuh kurang lebih satu jam sekali jalan.
2. Kurs HKD yang saya gunakan, sama dengan kurs di post hari pertama. 1 HKD = Rp 1.720,00.


Terima kasih sudah berkunjung! Foto ini kami ambil dari
atas jembatan yang legendaris di Tai O.


Salam Kupu-Kupu. ^^d


1 comment:

  1. PROMO DEWALOTTO

    BONUS CASHBACK LIVE CASINO 0,8% (NO LIMIT)
    BONUS CASHBACK SPORTSBOOK 5%
    BONUS ROLLINGAN POKER 0,3%
    DISKON TOGEL ONLINE TERBESAR DI INDONESIA

    Silahkan di kunjungi ya para bosku 100% Memuaskan.

    ReplyDelete