Wednesday, June 10, 2015

Dewi Kano: Sang Kuda Hitam Dari Tanah Purworejo

Salah satu anak Dewi Kano. Saya suka senyumnya!

Ada sebuah desa di Tanah Purworejo yang tengah mematutkan diri untuk memasuki dunia kepariwisataan Indonesia. Berbenah untuk menjaring banyak wisatawan datang mengunjungi seluruh pesona yang ia miliki. Bak kuda hitam ia berjalan. Perlahan namun pasti. Kuda hitam ini belum banyak dikenal oleh orang, meskipun sesungguhnya ia memiliki banyak kekuatan yang bisa membuat menang dalam kompetisi. Dan nama kuda hitam itu adalah Dewi Kano - sebuah akronim dari kata Desa Wisata Kaligono. Apakah kalian ingin berkenalan?

Siang itu, rombongan #famtripjateng tiba disana setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 4 jam lamanya dari Kota Semarang. Sekilas dalam perjalanan, saya melihat banyak sekali sungai dan perbukitan yang berada di sekitar desa tersebut.

Rombongan besar kami singgah pertama kali di Rumah Budaya Sae Laras - semacam tempat semi terbuka yang diperuntukkan bagi penerimaan para pengunjung. Disana, telah menunggu beberapa perangkat desa wisata sekaligus adik-adik sekolah dasar yang siap menghibur dengan permainan karawitan mereka.

Rumah Budaya Sae Laras.
Bangunan ini merupakan sumbangan salah satu warga
yang perhatian dengan masalah budaya.

Para pesinden cilik

Para niyaga

Sembari beristirahat dan menikmati kuliner khas asli Purworejo, adik-adik itu pun mulai beraksi: yang laki-laki sibuk menabuh instrumen tradisional, sedang yang perempuan bernyanyi lagu-lagu populer Jawa dengan begitu apik. Ah, saya jadi teringat ketika dulu jaman SMA - jaman dimana dulu saya pernah tergabung dalam korps karawitan sekolah.

Ibu lurah tengah beraksi. Eh, benar kan ini
Ibu Lurah?

Kuliner asli Purworejo: Combrok atau Gembel.
Rasanya mirip pempek tapi tanpa kuah dan isinya sambal tempe.

Kalau ini namanya geblek, semacam gembel
tapi tanpa isi apa-apa dan berbentuk seperti
pemukul kasur rotan.

Pasca santap siang, kami semua memulai agenda di Dewi Kano. Agenda pertama kami adalah melihat proses pemerasan susu kambing etawa atau yang dalam Bahasa Inggris dikenal dengan sebutan Jamnapari Goat di salah satu rumah warga. Untuk menuju kesana, kami dibagi menjadi dua kelompok. Masing-masing kelompok dinaikkan pick-up warga yang telah dimodifikasi menjadi kendaraan angkut.

Cukup jauh juga jarak antara Rumah Budaya Sae Laras dengan rumah warga yang memelihara kambing etawa. Rumah warga itu bagaikan menempati puncak salah satu bukit yang ada disana. Seekor kambing etawa betina telah menanti kami semua di rumah warga tadi. Sang pemilik kemudian memeragakan cara memerah susu dan mempersilahkan kepada siapa saja yang hendak mencoba.

Proses memeras susu
Sementara para mahasiswa asing sibuk mencoba memerah susu, saya justru tertarik melihat kandang para kambing. Beh! Saya langsung kaget ketika melihat kambing etawa jantan yang jauh lebih besar ukurannya dibanding kambing etawa betina tadi. Mana dia terlihat begitu agresif sekali. Beberapa anak kambing etawa juga terlihat di kandang itu. Sesekali mereka mengeluarkan kepala mereka, dan ketika hendak saya sentuh, mereka memasukkan kepala kembali ke dalam kandang. Aih, lucunya!

Anak kambing etawa. Malu-malu.

Agenda selanjutnya adalah menyaksikan proses pembuatan gula merah atau kalau masyarakat kita sering menyebutnya dengan istilah gula jawa. Dari rumah warga yang memiliki kambing etawa, kami berjalan kaki menuju rumah warga lain.

Proses memanaskan air getah nira.

Disana, sepasang suami istri telah menunggu kami untuk memperlihatkan cara pembuatan gula jawa mulai dari proses pemanasan getah aren, hingga proses pencetakan gula dengan media batok kelapa.

Gula jawa yang tengah menanti dingin dan keras

Selepas dari sana, kami diajak untuk menikmati keindahan alam yang ada di Desa Wisata Kaligono. Kali itu kami diajak untuk melihat Curug Siklothok. Mobil pick-up kembali membawa kami menuju kesana, melewati jalanan desa yang berkelok-kelok dan menanjak tajam di salah satu ruasnya.

Beberapa peserta famtripjateng di depan
gerbang selamat datang curug

Dari tempat parkir, kami masih harus berjalan menembus jalan setapak menuju ke curug. Ada mungkin sekitar 10 menitan berjalan kaki sebelum akhirnya tiba di depan Curug Siklothok. Air terjun ini mungkin memiliki tinggi sekitar 30 meter. Debit airnya sendiri tak terlalu besar dibandingkan beberapa air terjun lain yang pernah saya kunjungi.

Curug Siklothok

Baru sebentar menikmati air terjun di depan kami, para pemandu dari Pokdarwis Dewi Kano mengajak kami semua untuk mengunjungi air terjun lain yang berada di atas Curug Siklothok. Trek menuju air terjun inilah yang ngeri-ngeri sedap. Dimulai dari melewati anak-anak tangga curam, melewati jalan tanah sempit yang berada di pinggir jurang, melintasi jembatan bambu di atas dua batu besar, hingga melompati batu-batuan besar yang terasa licin.

Nama air terjun yang berada di atas itu adalah Curug Silangit, dengan ketinggian mencapai 60 meter. Debit airnya lagi-lagi tak begitu deras, namun yang membuat saya terpesona adalah letaknya yang dikelilingi oleh gugusan tebing.

Curug Silangit. Ah, atau sebut saja
Curug Siklothok II sebab ada Curug Silangit
lain di desa yang berbeda dengan Kaligono.

Ah, dalam perjalanan menuju kemari saya melihat banyak kolam air yang oleh warga sekitar disebut dengan kedung. Kedung-kedung ini jika dilihat dari atas airnya tampak berwarna biru kehijau-hijauan, warna yang menandakan kalau kedalaman air kedung itu lumayan dalam. Dengar-dengar, kedung itu tidak diperbolehkan untuk dimasuki oleh pengunjung karena berbahaya. Hiiy!

Keesokan harinya setelah beristirahat di hotel, rombongan famtripjateng kembali lagi menuju ke Desa Wisata Kaligono. Kali ini tujuan kami adalah ber-canyoning di Taman Sedandang (Sidhandang). Nama Sedandang berasal dari kata Bahasa Jawa "dandang" yang berarti tempat menanak nasi dari tanah liat. Sebuah replika dandang menyambut kami di depan jalan masuk menuju area canyoning.

Mas Yasir-saya-Ilyas berpose dengan dandang

Sebelum masuk, rombongan kami juga dipersilahkan untuk mencoba kokosan - buah yang jamak dijumpai di Kaligesing. Bentuknya serupa dengan buah duku, tapi rasanya asam sekali. Awalnya saya mencoba memakan dengan cara mengupas kulitnya seperti saat memakan buah duku. Cara yang menurut salah seorang warga salah besar. Warga itu kemudian mengajarkan saya cara memakan buah kokosan: ambil satu biji, pegang dengan memakai ibu jari dan telunjuk, bersihkan area di sekitar kulit dengan ibu jari, kemudian masukkan ujung buah kokosan ke dalam mulut, dan letupkan dengan jalan menekan bagian tengah buahnya. Ajaib! Dengan cara seperti itu rasanya jadi tidak begitu asam.

Kokosan. Bukan oplosan. *eh*

Sayangnya, saya agak kecewa kemarin. Jumlah peralatan yang disediakan oleh pengelola ngepres, membuat kami -para blogger- akhirnya tak kebagian jatah mencoba ber-canyoning. Daripada bengong menunggu para mahasiswa asing asyik bermain air, kami pun mencari kegiatan sendiri-sendiri. Mas Sitam tetap setia menjadi tukang dokumentasi para mahasiswa asing, Mas Haris pergi ngobrol dengan warga sekitar yang menonton, sedangkan saya dan Mas Yasir akhirnya menelusuri sungai yang ada di Taman Sedandang.

Mahasiswa asing pemanasan di Kedung Bunder

Taman Sedandang sendiri memiliki berbagai macam kolam air dan air terjun dengan kedalaman serta ketinggian yang bervariasi. Saya paling takjub adalah dengan kebersihan sungai-sungainya. Saya tak menemukan sampah sedikitpun disana.

Hasil penyusuran saya dengan Mas Yasir

Mas Yasir di atas jembatan bambu

Sehabis menunaikan Sholat Jumat di salah satu masjid desa, kami melakukan agenda terakhir dalam kunjungan ke Dewi Kano. Agenda terakhir itu berupa melihat proses pembuatan wingko di salah satu produsen rumahan. Hayoo tebak-tebakan dulu, ada yang tahu darimana wingko sebenarnya berasal? Yang menebak dengan Kota Semarang, maaf anda belum beruntung. Wingko adalah jajanan tradisional yang aslinya berasal dari Babat, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.

Salah satu pekerja tengah memarut kelapa
dengan bantuan mesin

Ternyata cara membuat wingko cukup mudah. Bahan baku utamanya juga mudah ditemukan yakni tepung beras, tepung kanji dan kelapa. Para pekerja di industri rumahan itu pun menjelaskan dan mencontohkan tahapan-tahapan pembuatan wingko kepada rombongan jatengfamtrip dengan sabar. Oh, bisa menikmati wingko hangat "fresh" dari panggangan adalah semacam kenikmatan dunia yang tak terdustakan.

Yumm!


*********************

I had a great time during our trip in Desa Wisata Kaligono, Kaligesing, Purworejo. Sebagai pemain yang bisa dibilang baru dalam kancah pariwisita, menurut hemat saya desa ini harus fokus saja terlebih dahulu, jangan mentang-mentang memiliki banyak potensi kemudian langsung hendak mengerahkan seluruhnya dalam awal pertandingan.

Pahami dan fokus saja dulu kepada kekuatan atau potensi utama yang hendak kalian tonjolkan, cari tahu selera pasar, baru kemudian mengeluarkan potensi lain satu persatu. Saya khawatir: karena tak fokus, yang terjadi kemudian adalah Dewi Kano tak memiliki identitas atau ciri khasnya. Belum lagi, pasti nanti akan kedodoran dalam mengurus seluruh potensi itu secara bersamaan.

Kepada perangkat dan pengelola Desa Wisata Kaligono, nasib kuda hitam itu berada di tangan kalian. Silahkan pilih, hendak mengeluarkan seluruh kekuatan di awal pertandingan, atau tetap berjalan pelan di awal baru kemudian berlari kencang menjelang akhir pertandingan.

Apapun itu, sebagai penikmat pariwisata saya hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Dewi Kano. Semoga kuda hitam ini akan terus berlari, meski masa depan masih berupa misteri.

Terima kasih sudah mampir.
Salam dari saya-Mas Yasir dan Ilyas. :)


Salam Kupu-Kupu ^^d

P.S. Bagi yang berminat mengunjungi Dewi Kano, tersedia paket-paket wisata yang ditawarkan oleh pengelola. Silahkan menghubungi mereka disini.

2 comments:

  1. Itu gula jawanya manis kan? kayak aku dong ahaha...
    Btw itu dandangnya gedeee bangettt

    ReplyDelete