Thursday, August 7, 2014

Cerita Bersama Tetangga Part XII-Terlena Oleh Desa Sumurup



Selain menghabiskan waktu bersama sanak saudara, libur lebaran kali ini juga saya habiskan bersama para tetangga. Mulai dari acara tarawih bareng, takbiran keliling, main petasan, karaokean, wisata kuliner malam hingga tak lupa acara jalan-jalan merupakan beberapa contoh agenda kebersamaan kami semua selama libur lebaran tahun 2014. Sedihnya, kami baru bisa berjumpa di akhir bulan puasa dimana bebarengan dengan arus mudik yang memacetkan jalanan. Walhasil, kami tidak bisa pergi terlalu jauh karena enggan terjebak dalam kemacetan. Belum lagi, beberapa di antara kami tentu sudah punya acara masing-masing baik itu dengan keluarga, saudara, maupun sahabat. Rencana jalan-jalan kali ini pun serba dadakan, baru direncanakan pada malam hari selepas saya pulang mudik dari Pacitan. Selain saya dan kakak, perjalanan ini diikuti oleh dua tetangga yang sejujurnya tak terbayang bakal pulang yaitu Mbak Reza dan Decky. Sedang tetangga yang lain terpaksa absen karena sudah ada jadwal sendiri.

Malam itu saya kebingungan mencari obyek wisata apa yang sekiranya dekat namun bisa menghibur mata. Saya terpaksa menganulir banyak obyek wisata berhubung letak mereka yang di luar kota. Bisa tua di jalan kalau kami nekat pergi ke luar kota di tengah padatnya jalanan. Saya mencoba mengingat-ingat dan mencari informasi di berbagai media sosial. Ah! Saya teringat! Ada teman saya yang beberapa waktu lalu mengunggah foto-foto apik tentang keindahan Rawa Pening di akun instagramnya. Saya pun mencoba googling dan kemudian nama Sumurup menjadi pilihan paling menjanjikan di antara obyek-obyek wisata lainnya.

Ide mengunjungi Sumurup baru saya dapatkan menjelang tengah malam. Saya langsung mengabari anak-anak lain dan berharap mereka belum terbuai dalam alam mimpi. Saya agak was-was, apalagi Dody-orang pertama yang merespon, mengabarkan dia tidak bisa ikut karena ada acara keluarga. Tak lama berselang, Mbak Reza dan Decky menyatakan kesanggupan mereka. Jawaban mereka sungguh mampu menenangkan saya.

Keesokan harinya, saya sudah bangun seperti biasa. Bergegas mandi dan menunggu para tetangga saya datang menghampiri. Jam tujuh pagi adalah waktu yang kami sepakati bersama. Satu jam kemudian belum ada tanda-tanda kedua tetangga saya datang, justru sms masuk dari Decky mengagetkan saya. "Sorry mas, baru bangun tidur. Beri setengah jam buat siap-siap.", saya tertegun membaca sms darinya. Saking tertegunnya, saya sampai lupa membangunkan kakak yang masih enak tidur, dan dialah yang pada akhirnya menjadi penyebab akhir molornya keberangkatan kami hingga tiga jam lebih.

Untung saja letak Sumurup tidak begitu jauh dari kampung kami, hanya butuh sekitar 15 menitan memakai motor kalau jalanan lancar. Kemarin jalanan sudah padat dengan arus balik masyarakat yang hendak pulang menuju ke ibukota negara. Hal itu sedikit memperlambat kami. Apalagi, tidak ada di antara kami yang tahu letak persis Sumurup. Yang saya tahu pasti, itu nama sebuah desa di Kecamatan Bawen dan menurut beberapa blog pribadi orang yang pernah kesana, letaknya persis setelah Jembatan Tuntang kalau dari arah Kota Salatiga.

Setelah lewat dari Jembatan Tuntang, motor saya belokkan ke arah kiri dan memasuki jalan tembus kecil menuju Ambarawa. Saat itulah saya menemukan nama "Sumurup" di salah satu papan toko warga. Saya dan Decky sempat beradu pendapat. Berbekal GPS di smartphone, Decky mengatakan kalau Sumurup masih 15 menitan lagi. Lah, kalau 15 menitan lagi bukankah Rawa Pening sudah tidak terlihat? Saya mengecek handphonenya untuk memastikan. Benar saja, Sumurup yang ditunjukkan GPS, entah berada dimana dan menjauhi Rawa Pening. Padahal, posisi Sumurup tempat kami berhenti jelas-jelas berada di pinggir Kali Tuntang yang airnya berasal dari Rawa Pening.

Selesai menjala ikan di Sungai Tuntang

Kami memutuskan parkir di sebelah warung mie ayam dan bakso yang hari itu tengah tutup. Ada banyak motor pemancing yang telah parkir disana. Saya lihat masih ada gurat kebingungan di muka kakak dan tetangga. Saya pun mencoba menanyakan kepada ibu pemilik warung yang saya jumpai di belakang warungnya. "Nggih mas, leres niki Sumurup. Menika bilih badhe ting warung apung mang mlampah nelusur rel mawon", sahut si Ibu yang membenarkan kalau kami benar berada di Desa Sumurup. Ada rel kuno yang berada tepat di belakang warung si Ibu. Rel itu masih digunakan oleh kereta api wisata dari Stasiun Ambarawa ke Stasiun Tuntang hingga kini.

Jembatan rel di atas Sungai Tuntang

Saya kembali ke para tetangga dan kakak, mengabarkan kalau posisi kami benar berada di Desa Sumurup. Ada raut kecewa sekilas terlihat di wajah mereka. Saya kemudian memutuskan berjalan di sekitar tempat kami parkir. Tampak suatu dermaga kayu yang sudah berlubang di beberapa sudutnya ada di depan kami. Saya pun melewati dermaga kayu itu dan langsung tertegun. Tepat di depan mata saya terlihat beberapa warga sekitar yang sibuk memancing pakai perahu kecil. Ada pula yang tengah mengamati keramba ikan mereka, sembari membelah kerimbunan tanaman eceng gondok yang terserok dimana-mana.

Dermaga kayu

Salah seorang warga yang
baru saja mengecek keramba miliknya

Memancing bersama sahabat

Saya memanggil kakak dan dua tetangga untuk menuju ke arah dermaga. Meminta mereka meresapi pemandangan yang tersaji di depan mata. Awalnya mereka hanya terdiam hening. Tak berapa lama, mereka telah sibuk mengabadikan pemandangan dengan kamera digital maupun smartphone. Saya sadar mungkin ini jauh dari bayangan mereka sebelumnya, tapi melihat mereka mulai antusias telah menghapuskan kekhawatiran diri ini. Bagaimanapun juga, saya yang merekomendasikan tempat ini kepada mereka, bukan?

Mbak Reza dan Mbak Vica mau selfie sukaesih


Jujur, jika dilihat secara sekilas sebenarnya panorama Sumurup terlihat biasa saja. Namun coba lihat hasil jepretan foto kalian. Semua hasilnya terlihat fotogenik. Ini kali kedua saya menemukan tempat seperti ini setelah Taman Sari di Jogja. Tampaknya, aura misterius dari Rawa Pening-danau yang tersohor karena legenda Baru Klinting, telah menyebar ke sekelilingnya. Menerbitkan pesona yang tak bisa jika hanya dinikmati oleh mata saja, melainkan harus memakai seluruh panca indera. Tak heran jika Rawa Pening dan Desa Sumurup menjadi salah satu favourite spot bagi para fotografer khususnya kala matahari tengah terbit dan tenggelam.

Rawa Pening dari sekitar Dermaga

Kami berempat kemudian berjalan menyusuri rel sesuai petunjuk ibu pemilik warung. Rel ini bersisian persis dengan Rawa Pening. Angka-angka tahun tampak tersaji di beberapa ruas rel yang menyiratkan kalau rel ini merupakan peninggalan dari Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Kami berjalan terus sampai melewati beberapa warung apung yang berfungsi sekaligus sebagai tempat penyewaan perahu bagi para pemancing. Tarifnya bervariasi mulai dari Rp 6.500,00 untuk perahu dayung kecil hingga Rp 50.000,00 untuk perahu bermotor.

Tertulis angka 1903. Tua sekali ya.

Perahu-perahu dayung yang disewakan

Hasil jepretan Mbak Vica. Fokusnya di capung.

Lama kami berjalan, hingga kumandang adzan menyadarkan saya dan Decky untuk bergegas kembali ke masjid di dekat tempat kami memakirkan motor. Ini Hari Jumat dan kami harus sholat Jumat. Kami berdua pun meninggalkan Mbak Reza dan Mbak Vica di salah satu warung apung. Warung yang terlihat paling baru, paling bersih, dan paling dekat dengan tempat kami parkir. Segelas minuman dingin saya pesan terlebih dahulu kepada ibu pemilik warung sebelum berjalan cepat menuju ke masjid.

Warung apung yang kami sambangi berlatar rawa

Seusai sholat, kami beristirahat sejenak di warung apung tadi. Menikmati dinginnya minuman yang kontras sekali dengan gerahnya suhu udara siang itu. Dari warung kami bisa melihat dengan lebih leluasa pemandangan Rawa Pening dan Kali Tuntang. Danau seluas 2.607 Ha ini terlihat hijau karena diselubungi oleh tanaman eceng gondok. Meski merupakan tanaman pengganggu, namun keberadaan eceng gondok mampu memberikan kesan kedamaian dan menyejukkan mata di sekeliling Rawa Pening. Eceng gondok juga menjadi rumah bagi beberapa fauna rawa seperti burung dan ikan air tawar.

Lima perahu dayung lucu

Sebelum pulang, ibu pemilik warung menyarankan kami untuk menyambangi jembatan baru yang tengah dibangun. Jembatan baru itu kelak bakal menghubungkan Desa Sumurup dengan desa-desa lain di ujung rawa. Katanya, pemandangan Rawa Pening jauh lebih indah jika dilihat dari atas jembatan. Kami pun manggut-manggut dan mematuhi saran si ibu.

Jembatan baru. Lihatlah, masih belum tersambung.

Jembatan ini letaknya tak jauh dari warung, kami hanya perlu berjalan di pinggir warung untuk bisa sampai kesana. Ngerinya karena masih dalam tahap pembangunan untuk bisa naik ke atas, kami harus menaiki tangga bambu terlebih dahulu. Buat saya, ini ujian sekali. Kaki saya sampai gemetar saat berada di anak tangga paling tinggi. Saat sampai di atas, ternyata benar perkataan ibu pemilik warung. Kami disuguhi pemandangan Rawa Pening secara lebih bebas, jauh lebih bebas dari menyaksikan di atas warung tadi. Walau masih didominasi oleh karpet hijau tanaman eceng gondok, namun pemandangan rawa berlatar gunung-gunung seperti Gunung Andong, Telomoyo maupun Merbabu bisa terlihat lebih jelas dari sana. Daebak!

Ceritanya, tengah menikmati pemandangan rawa

Dear people, sebagaimana yang sering saya sebutkan. Kau tak perlu pergi beratus-ratus mil jauhnya untuk bisa disebut jalan-jalan. Selalu ada cerita darimana saja, dan selalu ada pesona dari tempat terdekat dengan rumah anda sekalipun. Contohnya, ya Desa Sumurup ini. Saya tak akan kesana kalau tak tahu dari teman. Saya tak akan terlena oleh kefotogenikannya kalau tak mengunjungi secara langsung. As for me, really, it's worth a visit.


Sampai jumpa lagi di part-part selanjutnya. Aamiiin.

Salam Kupu-Kupu ^^d

P.S.
- Photos without watermark were captured by Decky or Mbak Vica.
-I'll see you again when I see you, Mbak Reza dan Decky. Take care and be strong, guys!

No comments:

Post a Comment