Tuesday, April 15, 2014

Kota Lama Semarang: Potret Antara Yang Terawat Dan Terlupakan



Berkeliling di Kota Lama Semarang telah menjadi keinginan saya semenjak lama, namun kesampaiannya justru baru-baru ini. Pada masa kolonial, Kota Semarang memang menjadi salah satu kota pelabuhan terpenting di Pulau Jawa. Pemerintah Hindia Belanda pun membangun beberapa bangunan serta fasilitas dalam menunjang segala kegiatan mereka pada waktu itu. Beberapa peninggalan masih bisa dilihat hingga kini, salah satunya terpusat di Semarang Bawah dan selanjutnya dikenal dengan istilah Kota Lama. Sayangnya, peninggalan-peninggalan ini tidak semuanya terawat dengan baik. Ada pula yang kondisinya tampak memperihatinkan dengan kerusakan dimana-mana.

Siang itu saya ditemani salah seorang teman semenjak SMA dalam mengelilingi Kota Lama Semarang. Tujuan pertama kami adalah Polder Tawang-kolam penampungan buatan yang diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk mengendalikan sistem pengairan di kawasan Kota Lama. Keseluruhan komponen sistem polder ini masih berfungsi dengan baik sampai sekarang, meski kebersihan air di dalam kolam penampungan tak terjaga. Air berwarna hijau pekat mengisi kolam dan sesekali mengeluarkan aroma tidak sedap. Di hari libur seperti kemarin, polder ini dimanfaatkan warga sebagai tempat rekreasi. Ada yang terlihat tengah serius memancing, ada pula yang hanya sekedar bercakap-cakap santai dan foto-foto seperti kami.



Pintu air

Seorang anak hendak memancing

Di seberang Polder Tawang persis, terdapat bangunan peninggalan yang juga masih digunakan sampai sekarang. Itulah Stasiun Tawang yang pertama kali dibangun oleh pemerintah kolonial pada tahun 1864 dan menjadikannya sebagai stasiun besar pertama di negara ini. Saya sudah beberapa kali menyambangi stasiun itu selama perjalanan ke beberapa kota. Buat saya, stasiun karya arsitek J.P. Bordes ini merupakan salah satu stasiun terindah yang pernah saya kunjungi. PT KAI-pengelola stasiun itu kini tetap mempertahankan bentuk bangunan asli dan merawatnya dengan baik. Selain jatuh cinta dengan arsitekturnya, saya juga jatuh cinta pada lagu "Gambang Semarang" yang selalu dikumandangkan ketika ada kereta yang melewati stasiun ini.

Stasiun Tawang dari polder

Masih berada dekat dengan Polder Tawang yakni di Jalan Cenderawasih terdapat bangunan kuno dinamakan Gedung Marabunta. Bangunan ini sangat unik karena terdapat dua patung semut merah raksasa yang bertengger di atap bangunan, entah apa artinya. Motif semut besar juga terdapat di pagar dalam bangunan, ditemani oleh beberapa ornamen kepala singa di pilar-pilarnya. Konon, bangunan ini dulunya merupakan tempat pementasan kesenian sekaligus tempat bersosialisasi para masyarakat Eropa. Bahkan kabarnya, salah satu mata-mata wanita paling terkenal di dunia, Mata Hari, pernah melakukan pementasan di tempat ini. Kini, bangunan bernama lengkap Marabunta Gedung Multiguna ini masih bisa digunakan sebagai tempat pementasan kesenian, maupun resepsi pernikahan.

Marabunta

Meninggalkan Gedung Marabunta, kami akhirnya sampai di salah satu sudut dari Kota Lama Semarang. Di depan tampak Gedung Marba berdiri dengan gagahnya. Gedung Marba dibangun oleh seorang saudagar asal Yaman bernama Marta Badjunet pada pertengahan abad ke 19. Nama Marba sendiri merupakan singkatan dari nama saudagar tersebut. Dulunya, bangunan dua lantai ini digunakan sebagai kantor usaha pelayaran sekaligus toko modern satu-satunya di area ini. Sayang, bangunan itu kini tampak mati karena hanya dimanfaatkan sebagai gudang. Untunglah, ada beberapa kafe serta toko antik di sekelilingnya yang membuat hidup suasana sudut perempatan jalan itu.

Gedung Marba di ujung sana

View Gedung Marba dari
 Jalan Srigunting

Hanya sepelemparan batu dari Gedung Marba, kami bisa menjumpai bangunan kuno paling termashyur seantero Kawasan Kota Lama Semarang. Ya, apalagi kalau bukan Gereja Blenduk-bangunan yang menjadi simbol landmark dari kota lama. Pertama kali dibangun pada tahun 1753 dan membuatnya dinobatkan sebagai gereja Kristen pertama di Provinsi Jawa Tengah. Bangunan berbentuk oktagon ini memiliki atap berbentuk setengah lingkaran sehingga tampak mblendhuk (Bahasa Jawa untuk bulat). Kesan itulah yang paling menonjol didapatkan pengunjung ketika melihat gereja berwarna putih dan atap berwarna merah tersebut, sehingga gereja yang aslinya bernama GPIB Immanuel ini kemudian disebut dengan istilah Gereja Blenduk. Selain kami dan beberapa rombongan pengunjung lain, gereja ini tampak ramai oleh aktivitas jemaat. Mungkin berkenaan dengan kebaktian di Minggu Palma.

GPIB Immanuel

Sehabis dari Gereja Blenduk, niatnya kami hendak mengunjungi Semarang Contemporary Art Gallery. Kami pun berjalan kaki sepanjang Jalan Srigunting untuk mencari tempat tersebut. Sekitar 200 meteran berjalan kaki, kami justru menemukan salah satu bangunan kuno lain yang tampak unik. Berdasar tulisan besar yang tertempel di salah satu dinding, namanya adalah Peek House. Keunikan dari bangunan dua lantai ini adalah ada banyak sekali jendela besar tertempel di sekeliling dinding bangunan ini. Entah apa kegunaan bangunan ini dulunya, mungkin sebagai tempat penyimpanan mengingat sirkulasi udara di Peek House pasti bagus sekali. Terus berjalan, kami tak segera menemukan letak galeri tujuan kami. Padahal, kami sudah berjalan sampai nyaris ke ujung jalan itu dan sampai ke depan Stasiun Tawang. Saat bertanya kepada warga yang kebetulan lewat di dekat kami, rupanya galeri itu berada tepat di sebelah Peek House. Errr.

Peek House

Sebalnya, saat sudah sampai disana ternyata galeri itu tengah tutup. Bah. Untuk mengobati kekecewaan, kami berdua memutuskan untuk beristirahat di Toko Oen. Toko Oen ini juga tepat berada di sebelah Peek House. Restoran yang ada disini merupakan cabang dari Toko Oen Jalan Pemuda. Bangunan yang digunakan juga merupakan bangunan kuno, meski sudah tampak ada renovasi dimana-mana. Interior dalamnya sudah disulap menjadi serba modern. Selain digunakan sebagai restoran, tempat ini juga berfungsi sebagai tourist information center. Dikarenakan energi yang lumayan terkuras dalam perjalanan kali ini, kami memutuskan untuk memesan makanan berat. Nasi Goreng Spesial Toko Oen menjadi pilihan saya. Selain itu, saya juga memesan es krim Tutti Frutti-es krim tiga lapis dengan potongan buah segar di lapisan tengahnya. Toko Oen memang terkenal dengan rasa es krimnya yang menggoda.

Interior dalam Toko Oen

Nasi goreng spesialnya porsi kuli

delicious!

Berkeliling Kota Lama Semarang membuat saya sadar kalau Pemerintah Kota Semarang belum serius dalam merawat dan menjaga kekayaan bangunan cagar budaya mereka. Kontradiksi antara bangunan yang terawat dengan yang terlupakan tampak begitu terasa, khususnya saat memasuki jalan-jalan kecil di kawasan itu. Kalau diperbandingkan, jumlah bangunan yang terawat jauh lebih sedikit daripada bangunan yang dibiarkan terbengkalai. Sayang sekali mengingat Pemerintah Hindia Belanda sebenarnya telah mewariskan peninggalan yang tak akan tergantikan bahkan oleh kehadiran gedung-gedung serba modern di era sekarang. Oh Little Netherlands, riwayatmu kini.

potret dari yang terlupakan:


Jendela salah satu bangunan tak bernama

Salah satu bangunan kuno yang dijadikan rumah warga


Teman saya, Tyas, berlatar gedung besar
dengan kondisi memperihatinkan


Salam Kupu-Kupu ^^d

No comments:

Post a Comment